Suka Duka Menjadi Mama Anak Lintas Budaya

Suka Duka Menjadi Mama Anak Lintas Budaya

7 comments

Suka duka menjadi mama anak lintas budaya. Saya itu keluarga nomaden. Pindah-pindah terus ke mana-mana (eh baru tiga kali deng). Pernah terbersit sih ingin menetap di sebuah negara, di sebuah perkampungan yang indah dan permai, memiliki pertanian yang luas dan memiliki peternakan dengan hewan sapi dan kambing yang gemuk dan sehat. Seperti di film Shaun The Sheep tea. Ah saya mah beneran hidup teh terlalu banyak bermimpi hehhe

Saya Keluarga Nomaden

Pindah dari satu negara ke negara lain menjadikan saya ibu dari anak-anak yang mempunyai karakter tiga peradaban budaya. Mungkin malah lebih, karena saya berbahasa Sunda, suami berbahasa Indonesia dan anak-anak menggunakan Bahasa Melayu dan  kadang kalau masih ingat Bahasa Jepang.
Dari sejak pulang dari Jepang (suami saya studi di Jepang selama 5 tahun, ambil doktor) tahun 2007, dan merantau ke Malaysia tahun 2010, lalu saya dan keluarga kembali lagi ke Indonesia, anak-anak lumayan juga masa adaptasinya. Alhamdulillah tidak ada bullying, meski mereka kadang risih dengan panggilan, Kak Shafa dari Malaysia lahir di Jepang. Atau mata terbelalak, saat putra saya mengatakan, "Saya lahir di Jepang!" dan teriakan nakal dari mulut usil kawannya, "Bohong, Lu, masuk neraka!" (Ya ampun!)

Anak Lintas Budaya

Ini cerita saya ketika awal kembali ke Indonesia sepulang dari Jepang, sungguh menjadi masa yang sangat sulit sekali bagi dua anak saya. Kakak  S1 (saat itu berusia 5 tahun) dan Teteh S2 (saat itu berusia 3 tahun). Mereka berdua benar-benar tidak bisa berbahasa Indonesia dan hanya paham jika bercakap dengan ummi dan abinya saja.

Anak lahir di Jepang
Dua anak yang lahir di Jepang, kok mirip orang sana ya? heuheu

Walhasil, mereka sangat sedih sekali harus meninggalkan Negeri Sakura yang disangkanya kampung halamannya. Harus meninggalkan teman-teman sekolahnya, meninggalkan  sensei yang dicintainya, dan meninggalkan semua kenangan indah di sana.
Belum lagi ditambah perubahan cuaca yang mendadak dari dingin ke panas, perubahan budaya yang baru bagi mereka dan perubahan bahasa yang membuat mereka menjadi orang asing di negara asal kedua orangtuanya.
Suatu ketika, si kecil Teteh S2  bertanya kepada saya,
“Ummi chan, doushitano koko ni iru no? Nihon kaeritai!” (Ummi, kenapa kita ada di sini? Ingin pulang ke Jepang!) katanya lugu sambil mengipas-ngipas badannya dengan kipas dari plastik.  Matanya yang bulat dengan bulu mata lentik, wajahnya yang putih lucu dengan rambut ikal seperti Nancy dalam The Little House.
Setiap berjalan keluar rumah, tetangga mengerubunginya bagai artis cilik sebab anak-anak saya jadi terkenal karena pulang dari Jepang dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Semakin hari dia  menjadi seorang anak yang gugup dan merasa dirinya aneh di antara banyak orang. 
S2 tidak ingin berbicara kecuali dengan saya. S2 yang riang kini murung dan lebih pendiam. Dia hanya mau bermain dengan kakak dan umminya. Setiap ditanya orang lain, dia lebih  suka menyingkir dan bersembunyi dibalik lebarnya gamis saya.
Suaranya semakin hari semakin mengecil dan tidak terdengar lagi. Lagu-lagu anak Jepang terdengar seperti gumaman lirih dalam mulut kecilnya. Dia merasa malu berbeda bahasa dengan orang-orang disekitarnya. Setiap hari  saya beri dia semangat dan menguatkannya juga menemaninya bermain agar tidak tambah bersedih.

Ueno Eki
Saya, S2 dan S1 di Ueno Eki (Haru Yasumi)

Hari lain dia menjadi anak yang gampang marah melihat kakaknya menyerobot kamar mandi yang hendak dipakainya.
“Junban!” (gantian!) katanya dengan ketus.
Dia sangat marah sekali dengan ulah kakaknya. Tetapi kakaknya santai saja. 
S2 memang berbeda dengan kakaknya. Walaupun sama-sama besar di Jepang, tetapi S2 lebih terlihat Jepang banget.Dia sangat disiplin, cinta kebersihan dan halus sekali perasaannya.
Suatu hari, saya pernah mengajaknya melihat-lihat TPA di dekat rumah. Kami berjalan dengan riang. Sampai di TPA, dia antusias melihat anak-anak bermain di sana. Sempat berlari, tetapi langkahnya terhenti, dia urungkan niatnya mendekati mereka. Mungkin dia ingat tidak bisa bercakap dengan Bahasa Indonesia. Kuraih tangannya dan kuajak bermain di dalam halaman TPA itu. Kebetulan ada ibu guru yang sedang berdiri di luar kelas dan saya menyengajakan mengajak ibu guru berbincang, saya ingin memasukan anak-anak ke TPA.

Pecanggahan Nilai dari Kacamata si Kecil

Sore yang cerah itu tiba-tiba berubah menjadi sore yang tidak menyenangkan karena S2 menolak sekolah di TPA. Pasalnya dia melihat ada anak laki-laki yang membuang bekas minuman dan makanannya persis di depan mukanya dan menendang-nendangnya seperti bola.
“Gomi bako aru dayo ne, Ummi chan. Ko no ko ga dai kiraiiii.” (Tempat sampah ada kan, ya, Ummi. Benci (melihat) anak laki laki itu!)  katanya sambil manyun.
Urung memasukan anak-anak ke TPA saya tetap berikhtiar. Akhirnya saya bulatkan tekad memasukkan mereka ke TK Islam Terpadu yang masih di dekat rumah.
Awalnya saya agak ragu juga memasukan mereka langsung di TK, tetapi karena tuntutan kebutuhan, mereka harus bersosialisasi dengan anak-anak yang lain. Maka bismillah ... insyaAllah mereka bisa!
Saya banyak membincangkan masalah keterbatasan bahasa anak-anak kepada kepala sekolah dan calon guru mereka. Alhamdulillah mereka malah merasa tertantang untuk menangani anak-anak dengan third culture. Meskipun agak berdebar, saya pun bisa bernafas lega menitipkan mereka di sekolah itu.

Suasana houkoen di Jepang (KK S1 coba tebak ada di mana?)

Akhirnya, tibalah hari pertama ke sekolah. Kakak S1 lebih enjoy dengan kelas barunya, tetapi  tidak begitu dengan S2. Dia  menarik-narik tangan saya dan seperti biasa bersembunyi di balik gamis saya. Dia menangis tidak ingin ditinggalkan di sekolah. Akhirnya selama seminggu saya ikut duduk manis di dalam kelasnya sampai dia merasa nyaman dengan ibu guru barunya.

Baca juga: 123 Tobemashita!
Pesan saya pada ibu gurunya; tidak memaksa S2 belajar, cukup menjadi teman bermain  dan mengajarkan berteman dengan teman-temannya. Lagipula usia S2 waktu itu baru 3 tahun tidak wajib belajar, toh?!
Setiap hari saya pantau perkembangan bahasa mereka selama di sekolah dan di rumah. Nah, pas saat ini saat yang paling sulit banget bagi saya. Antara ingin melestarikan bahasa Jepang yang sudah terlanjur menempel pada anak-anak, juga keinginan anak-anak bisa berbahasa Indonesia. Dua keinginan yang bertolak belakang itu memang mengesalkan, ya heuheu
Alhamdulillah dalam waktu satu bulan bersekolah, Kakak S1 cepat sekali beradaptasi dan mengerti apa yang dibicangkan oleh guru TK-nya. Sementara S2 seperti yang saya duga masih lambat, selama 6 bulan bersekolah dia hanya duduk diam dan hanya ceria ketika waktunya bermain. 

ummi jadi guru tamu (kebaya cokelat)

Cerita ibu gurunya di TK, Shafa hanya mau berbicara padanya saja. Dalam ceritanya S2 sering menyatakan sayang kepada ibu gurunya (Sensi daisuki!). Dia banyak bercerita tentang Hasegawa Sensei, sensei idolanya sewaktu di Jepang. Mengajarkan ibu gurunya berhitung 1 sampai 10 dalam bahasa Jepang dan bernyanyi dalam bahasa Jepang.
Begitulah Teteh S2, ketika hatinya mulai terbeli, maka dia akan sayang sekali. Persis karakter kebanyakan orang Jepang.

Mulai Percaya Diri

Tak lama setelah itu S2 mulai percaya diri dan percaya pada orang lain. S2 juga sudah bisa menyatakan sangat sayang pada guru TKnya dan merasa nyaman berada di dekatnya. Perkembangan yang sangat bagus sekali. Lambat laun perkembangan bahasanya pun mulai membaik, walaupun masih sering terbalik-balik.
Untuk melestarikan kemampuan Bahasa Jepang mereka, ikhtiar saya dengan tetap memakai Bahasa Jepang dalam percakapan harian kami dan menonton film-film animasi Jepang di waktu senggang. Khusus untuk kakak S1, agar kemampuan membaca hiragananya tidak hilang, saya memberikan buku-buku cerita berhuruf hiragana yang saya beli di Daisho. Alhamdulillah sampai hari ini dia masih bisa membacanya hurup-hurup keren itu hehhe

Dulu dan sekarang S2 tetap kekeuh ingin ke Jepang. Beberapa waktu lalu, katanya mau kuliah di Inggris biar bisa ajak ummi jalan-jalan jelajah Eropa (aamiinn), eh tak lama kemudian, dia bilang lagi, "Ummi, Shafa mau kuliah di Jepang aja ah!" eleuh si Eneng teh. Jadi ingat kata-kata dia waktu kecil dulu, “Ummi chan, itcu demo nihon iku!” (Sampai kapan pun, akan pergi ke Jepang!). 

Sebenarnya, tidak hanya kalian Nak, yang ingin kembali ke Jepang. Ummi juga mau!
Ah ... semoga mimpimu menjadi kenyataan ya, Nak. Aamiin ya Rabbal alamin ...
Sri Widiyastuti
Saya ibu rumah tangga dengan 6 orang anak. Pernah tinggal di Jepang dan Malaysia. Isi blog ini sebagian besar bercerita tentang lifestyle, parenting (pengasuhan anak) dan segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarga dan perempuan. Untuk kerjasama silakan hubungi saya melalui email: sri.widiyastuti@gmail.com

Related Posts

7 comments

  1. wah perlu kesabaran ya bu, budaya yang berbeda akan membuat anak gak nyaman juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak. Harus sabar banget. Meski pun rata rata anak cepat beradaptasi dimana pun.mereka tinggal tapi tuntutan lingkungan berpengaruh juga pada psikologi anak

      Delete
  2. Cantik-cantik sekali mbak putrinya..semoga mimpinya terwujud yaa... ^^

    ReplyDelete
  3. Wah enak ya, mba. Bisa tau rasanya hidup di negara jiran.
    Jadi sejarah deh dalam hidup

    ReplyDelete
  4. Senang ya bisa tinggal di berbagai budaya... Anak-anak juga. Jadi lebih paham perbedaan dan bisa empati dengan orang yang berbeda

    ReplyDelete
  5. Ah, Jepang memang negara idaman banget ya teh. Akupun mau banget kalau diajak pindah ke Jepang. Mau banget, ngga akan nolak :D

    ReplyDelete
  6. Keren teteh S1 masih ingat dengan hiragana
    semoga cita cita teteh terkabul, mbak...

    ReplyDelete

Post a Comment

iframe komentar