Xenophobia : Orang Malaysia Jutek!

Xenophobia : Orang Malaysia Jutek!

4 comments

Tahun 2011 adalah tahun kedua saya tinggal di Johor, Malaysia. Saat itu saya hamil besar menunggu melahirkan anak kelima di bulan Juni. Saya bingung sekali karena banyak bisikan-bisikan dari kanan kiri yang mengatakan bahwa, masuk ke rumah sakit Sultanah Aminah (semacam rumah sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta) siap-siap merasakan neraka dunia.

Woaahhh...saya sungguh ketakutan. Apa semengerikan itu orang-orang Malaysia, terutama dokter dan susternya?

Beberapa teman saya -saat itu status mereka masih mahasiswa- diperlakukan tidak manusiawi di rumah sakit besar. Sudahlah ditempatkan di kelas 3 yang mirip barak pesakitan dan pelayanan pun tak mengenakan sekali.

Cerita teman saya, saat dia melahirkan anak ketiga di sana dia tidak diperlakukan dengan baik.
Bayangkan, teman saya hipertensi, menunggu melahirkan dengan kondisi antara hidup dan mati, hanya gara-gara dia seorang seorang mahasiswa Indonesia diperlakukan semena-mena. Beberapa hari dia tersiksa di rumah sakit itu.

Pada saat sehabis melahirkan, teman saya dalam kondisi berdarah-darah karena blooding akibat hipertensi, dia berjalan sendiri menaiki tempat tidur yang tingginya sepinggang orang dewasa tanpa dibantu seorang suster pun.

Lain waktu, dia melihat seorang TKI yang baru melahirkan dan tidur disebelah tempat tidurnya sedang diperiksa oleh seorang dokter. Bukannya dibesarkan hatinya, malah diejek.

"Masih mau hamil lagi? Apa perlu diikat saja peranakannya?" MasyaAllah... begitu kejamnya kata-kata itu.  Belum lagi bolak-balik diperiksa bagian privasi kita oleh dokter-dokter koas, yang kebanyakan laki-laki.  Saya sampai merinding dibuatnya.

Itu baru satu cerita, yang lain? Lebih parah lagi. Kalau disebutkan satu persatu deretan dosa dari perlakuan tak menyenangkan di dalam rumah sakit besar itu, pasti mereka bisa digiring ke Mahkamah Internasional! *lebay :-D

Saya mengerut. Takut. Saya pun berdiskusi dengan suami saya. Apa perlu saya melahirkan di Indonesia saja? Sewaktu memeriksa kehamilan, saya periksa di klinik seorang dokter dekat rumah. Dokternya ramah dan tidak ada tanda-tanda kekejaman dalam dirinya.

"Coba cari info ke ibu yang lain, kan ada yang melahirkan di rumah sakit kebidanan." jawab suami saya, enteng.

Iya memang sih selain yang melahirkan di rumah sakit besar itu, ada juga klinik bersalin yang lain. Rumah sakit Tun Ibrahim, Johor. Biasa disebut rumah sakit Kulai.

Saya pun kembali berburu cerita dari teman-teman yang melahirkan di rumah sakit tersebut. Dari cerita mereka,

"Meski pun sama-sama jutek tapi lebih manusiawi lah. Yang membantu persalinan bidan semua" begitu katanya. Teman saya yang lain malah merekomendasikan ke klinik kebidanan swasta dekat rumah. Ya, namanya pelayanan swasta kan memang beda dengan negeri. Suami saya kurang setuju karena kerajaan hanya membackup fasilitas rumah sakit negeri saja. Saya juga tidak begitu antusias karena dokternya laki-laki.

"Okelah kalau begitu. Bismillah, melahirkan di rumah sakit klinik kebidanan Kulai saja," kata saya pada suami.  Apalagi, suami pun mengiming-imingi biaya rumah sakit swasta akan jadi milik saya kalau memang saya berani melahirkan normal di RS negeri. hihihi matre, ya lumayan lah 1000 ringgit, kira-kira kalau di konversi ke rupiah dapet 2,8 juta :-D

Saat melahirkan pun semakin dekat, saya sowan ke rumah makcik tetangga saya.

"Melahirkan di mana?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Di rumah sakit Kulai Makcik," jawab saya.
"Oh, baguslah. Di sana bidan semua yang jaga. Kalau di rumah sakit besar, tak best lah. Ramai orang." katanya sambil mencibir.
Oh, ternyata orang Malaysia pun tak seberapa suka dengan pelayanan di rumah sakit besar sultanah Aminah.

 Saya pun bercerita sudah melakukan kunjungan ke rumah sakit itu, agar ketika tiba masa melahirkan saya tahu harus ke ruangan yang mana. Antisipasi kalau petugas tidak bisa ditanya saat genting mau melahirkan. Segitunya ya bo! *menarik nafas.

Sebelum pamit, saya pun menitipkan anak-anak saya saat di rumah sakit nanti. Makcik usianya 60 tahun, sudah seperti nenek anak-anak saya, jadi nyaman menitipkan mereka pada makcik.

Hari yang dinantikan datang juga. Seperti biasa, anak saya lahir seminggu lebih cepat dari perkiraan. Saat itu saya sedang menyelesaikan sebuah tulisan untuk sebuah event menulis. Pukul 1 siang keluar flek dan saya diantar suami ke rumah sakit Kulai.

Karena saya datang sesudah jam makan, saya tidak diberi makan. Menyesal juga tadi  tidak nurut sama suami. Saya kira akan disuruh keluar lagi setelah daftar, ternyata saya langsung di karantina. 

Laparrr...

Saya berganti pakaian rumah sakit dan menunggu kontraksi di ruang yang telah disediakan. Alhamdulillah, meski ada juga yang jutek tapi perawat yang merawat saya ramah. Dia memeriksa saya tanpa lepas dari senyum. Nyes, hati saya yang dag-dig-dug menjadi tenang. Saya sms suami, melaporkan keadaan saya yang baik-baik saja. Hanya perut saja keroncongan, suami saya pun berjanji akan membelikan roti. Dua anak saya yang menunggu di luar sudah tak bisa saya cium dan peluk, tapi saya dengar suara mereka baik-baik saja.

Pukul 3 sore saya dipindahkan ke ruangan lain, karena saya belum juga melahirkan. Baru bukaan 3 katanya. Saya pun ditempatkan di kamar VIP, karena saya istri dosen dan mendapat tanggungan fasilitas dari kerajaan. Sayangnya di rumah sakit itu, meski kamar VIP tapi kamar mandi tetap barengan dengan kelas 2 dan kelas 3. Saya melihat-lihat situasi saat kebelet pipis. Ada beberapa ibu yang sudah melahirkan dan menunggu saat melahirkan di kamar yang tempat tidurnya berderet-deret hanya di sekat oleh gorden. Wah, sepertinya saya kalau ditempatkan di sana engga bakalan bisa tidur tenang. Saya bersyukur sekali dengan status pekerjaan suami saya saat itu.

Pukul 5 sore, perasaan mules semakin menjadi. Saya pun lapor kepada bidan yang bertugas memeriksa saya, tapi ternyata ganti orang. Orangnya jutek banget dan tak pernah senyum.

"Puan, sudah bukaan 5. Sekarang Puan bereskan tas karena Puan akan dirujuk ke rumah sakit besar." Katanya tanpa basa-basi setelah memeriksa bagian privasi saya.
"Lho, kenapa Mesi (suster bahasa melayu), saya kenapa? kok harus melahirkan di rumah sakit besar?" tanya saya kaget luar biasa, perasaan saya saat itu campur aduk. Takut.
"Puan trombocytopenia, darahnya ada yang aneh," katanya tak sabar.

Memang sejak dari mulai masuk ke dalam ruangan pemeriksaan pertama, saya di cek ini dan itu. Saya pun sempat diambil darahnya. Rasanya, teman-teman saya tak ada yang diperlakukan seperti itu, apa mungkin karena saya di kelas VIP? sehingga mereka lebih care dengan kondisi saya?
Saya hanya bisa membatin tanpa mau memaksakan jawaban dari Mesi yang tadi.

Akhirnya, saya mendapat jawaban resmi dari kepala bidan di RS itu. Orangnya sudah setengah sepuh, wajahnya ramah.

"Puan, saya minta maaf, karena darah puan ada keanehan. Sementara kami tidak ada alat-alat yang bisa membantu keselamatan Puan. Kami cemas Puan akan mengalami blooding setelah melahirkan." Jelasnya tanpa saya minta. Beliau pun memperlihatkan surat atau selembar kertas hasil pemeriksaan laboratorium. Sepuluh Mesi membantu menidurkan saya di tempat tidur dorong yang akan membawa saya ke rumah sakit besar. Seperti di film-film itu lho.

Sementara kepala bidan memberikan nasehat kepada saya agar bersabar dan tawakal dalam melahirkan. Memberikan doa agar saya dimudahkan dalam melahirkan dan pasca melahirkan. Beliau pun mengusap lembut kepala saya. Terharunya saya. Duh, apa separah itukah kondisi saya? Saya pun membaca surat-surat pendek dan doa-doa pendek yang saya ingat saat itu. Stress juga, tapi demi melihat mereka sungguh-sungguh memperlakukan saya, saya sedikit terhibur juga. Mereka jauh dari bayangan saya sebelumnya. Jutek dan mengerikan. Ya Allah, maafkan saya.

Saat dinaikan ke ambulance dari RS Kulai ke rumah sakit besar Sultanah Aminah saya didampingi dua orang Mesi dan seorang warga India yang memiliki kondisi yang sama dengan saya. Tapi bedanya dia baru bukaan 1.

Perjalanan menuju RS besar, waktu yang perlu ditempuh adalah 1 jam perjalanan, belum macetnya. Perasaan saya tak menentu saat itu, takut melahirkan ditengah jalan. Setiap 10 menit, mesi memeriksa kondisi saya, suhu badan dan pembukaan jalan lahir. Saat masih setengah perjalanan, bukaan jalan lahir sudah bukaan 8. Bidan panik, secara saya melahirkan anak kelima gitu lho.

"Cik, tolong keretanya dipercepat ya, sudah bukaan 8," katanya menginstruksikan supir ambulance untuk segera mempercepat lari mobilnya. Sirine meraung-raung membuat bising jalanan. Membuat detak jantung saya pun semakin tak menentu. Mesi yang masih muda memegang tangan saya dan berbisik sudah hampir sampai, katanya.

Alhamdulillah, sampai juga kami di rumah sakit besar, waktu satu jam kami tempuh dalam waktu 45 menit. Tempat tidur saya segera di dorong, rasanya maut sudah di ujung kehidupan saya. Saya takut sekali. Kami naik ke lantai 2 dan tepat pukul 6 sore saya sampai di pintu ruang melahirkan.
Saat itu baru saja ada yang melahirkan di ruangan itu dan segera di evakuasi keluar dari ruangan, karena RS besar itu penuh. Mungkin setiap menit orang melahirkan di sana. Mesi yang membawa saya segera berlari ke nurse stasion dan melaporkan kondisi saya. Mesi RS Besar dengan cueknya memperhatikan saya.

"Tunggu sekejap ye, sedang dibereskan ruangannya," katanya dan asyik mengobrol dengan mesi yang lain.
"Mesi, ketuban saya barusan pecah," kata saya pada Mesi muda yang mengantar saya dari RS Kulai. Mesi itu pun melaporkan pada Mesi di RS besar.
"Puan ini ketuban sudah pecah, tolong segera diambil tindakan," Serunya karena saya masih dibiarkan di pintu luar ruang bersalin.

Mesi-mesi itu kemudian bertukar posisi tugas dan mendorong saya ke dalam ruangan. Saya pun berpindah dari tempat tidur yang dibawa dari RS Kulai ke tempat tidur untuk melahirkan. Saya melihat jam di atas dinding nurse stasion menunjukan pukul 6 lewat 15 menit.

Dokter perempuan membaca catatan kesehatan saya dari RS Kulai dan menemukan bahwa saya trombocytopenia. Saya menghela nafas lega, alhamdulillah, dokter perempuan :-)

Dokter menginfus saya, Mesi (suster) memeriksa jalan lahir lagi.

"Masih bukaan 8,5 ya, masih lama melahirkannya," katanya santai. "Jangan teran (kontraksi) dulu ya, luruskan saja kakinya, belum saatnya melahirkan," imbuhnya sambil menselonjorkan kedua kaki saya, dan menutupnya dengan selimut. Dan memasang alat pendeteksi denyut jantung atau alat pendeteksi kontarksi di atas perut saya.
"tapii..." saya mulai tak tahan, si bayi sudah ingin keluar sepertinya.
"Tak pe, saya nak keluar sekejap je yaaa." katanya sambil bergegas hendak keluar. Sementara dokter (koas) masih sibuk mencari urat untuk menusukan jarum suntik infus di tangan kiri saya.
"Dokter, anak saya sudah nak keluar dokter," kata saya dengan nada meringis. Si Dokter langsung melepaskan tangan kiri saya dan membuka selimut.

"Mesi, bayinya sudah keluar, bayinya sudah keluar," jeritnya panik. Mesi yang tadi mau keluar balik lagi dengan tergopoh. Saya pun melahikan dengan posisi miring ke kanan, anak saya keluar sendiri tanpa bantuan dokter atau Mesi (suster). Beruntung mereka bisa menangkap loncatan anak saya yang keluar deras tak bisa dihalangi lagi. Pukul 6. 18 menit anak saya lahir ke dunia.

Alhamdulillah, leganya saya. Mereka pun segera mengemas anak saya dan memastikan dia sehat. menidurkannya di dada saya, dan si dokter kembali mencari urat pada tangan kiri saya karena belum berhasil menusukan jarum infus pada tangan kiri saya :-)

"Maaf ya, tadi saya kira masih lama, karena baru bukaan 8, 5 tadi," kata mesi yang tadi mau keluar.
"Saya melahirkan anak kelima Kak, jadi mungkin sudah kendor jalan lahirnya," jawab saya sambil rada sebel juga. Tapi saya tetap tersenyum, dengan dia meminta maaf pun sudah menghibur saya.

Saya kemudian ditempatkan di kamar VIP, karena status suami saya adalah dosen UTM yang diberi fasilitas oleh kerajaan. Sayangnya kamar VIP sepi, tidak boleh dijaga oleh orang lain. Mesi yang melayani semua kebutuhan kita. Saya kagen sama anak-anak saya. Sayangnya anak-anak dilarang  masuk ke ruangan saya. Saat mengusir sepi, saya jalan-jalan ke nurse stasion dan mengobrol di sana. Alhamdulillah pelayanan mereka ramah dan jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya.

Saat saya menengok bayi saya -karena saya dicurigai trombocytopenia, bayi saya di karatina juga, pisah ranjang kita huhuhu- Mesi mengantar saya memakai kursi roda. Saya sudah menolak untuk duduk di kursi roda itu, tapi Mesi berkeras bahwa saya harus duduk di sana dan diantar oleh dia.

"Sudah tugas saya Puan untuk mengantar Puan, " katanya dengan penuh hormat. Dia masih muda dan baru lulus dari sekolah perawat. Selain diantar menengok bayi saya, saya pun diantar periksa kesehatan karena selain trombocytopenia, saya juga kena zoster. Lumayan juga bolak balik, naik turun lift, tapi dia tidak mengeluh.

Saat dokter memeriksa saya pun mereka ramah-ramah. Ada 3 orang dokter yang 2 kali  menengok saya dan mengecek kesehatan saya pagi dan sore. Kadang diam-diam saya mengintip buku laporan mereka tentang kondisi terakhir saya karena buku laporan itu ditinggalkan begitu saja di ruangan saya.

Mereka juga tak pelit informasi saat saya minta penjelasan tentang trombocytopenia.Sebelum pulang ke rumah, saya sempatkan untuk berfoto bersama Mesi-mesi baik hati yang menemani dan membantu saya selama di rumah sakit.

Saya menginap di rumah sakit besar hanya 2 hari satu malam. Alhamdulillah bayangan menakutkan itu tak pernah terjadi pada diri saya. Kata teman-teman saya, mungkin karena VIP kali bu, heuheu. Ya mungkin saja, tapi terlepas dari semua itu, dari pengalaman saya di atas, tak semua orang Malaysia jutek. Sudah terbukti pada saya. 

Johor, 10 Agustus 2012

Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Menulis Tentang Xenophobia.

Sri Widiyastuti
Saya ibu rumah tangga dengan 6 orang anak. Pernah tinggal di Jepang dan Malaysia. Isi blog ini sebagian besar bercerita tentang lifestyle, parenting (pengasuhan anak) dan segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarga dan perempuan. Untuk kerjasama silakan hubungi saya melalui email: sri.widiyastuti@gmail.com

Related Posts

4 comments

  1. Di indonesiapun sama saja kok. Kalau pasien kelas VIP pelayanannya sangat baik dan ramah. Kalau pasien kelas 3 misalnya.... kadang suka dijutekin. Tp ya tetep itu tergantung sifat dan pembawaan masing2 orang ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul mbak Rita, jadi memang gimana kitanya juga sih, insyaALlah masih banyak orang baik. kadang xenophobia sebab kita belum kenal aja

      Delete
  2. Sebenernya melahirkan di mana saja sama, afa situasi kondisi yang jutek dan yang ramah. Alhamdulillah, sejauh ini saya juga selalu mendapat perlakuan.baik

    ReplyDelete

Post a Comment

iframe komentar