Mengelola emosi positif bunda dalam pengasuhan si kecil di masa pandemi. Hai, Bunda, apa kabar nih? Masih sabar ya beraktivitas di masa pandemi ini. Belum habis was-was kita dengan Covid-19 dengan berbagai variannya, eh sekarang muncul lagi varian terbaru, Omicron. Meski katanya tidak terlalu berbahaya, namun Omicron ini salah satu varian yang cepat sekali penyebarannya. Jadi, tetap prokes ya, Bunda. Menjaga jarak, memakai masker dan menerapkan lifestyle yang sehat.
Saya termasuk bunda yang belum berani jalan-jalan jauh dan berdurasi lama di luar rumah. Selalu ada perasaan cemas jika habis keluar rumah. Kuatir anak-anak kena ketularan gitu sehabis saya asyik di luar.
Dan ternyata, kecemasan itu sebenarnya wajar aja Bun, karena emosi-emosi itu tuh memang perlu ada dalam diri kita sebagai sinyal-sinyal dalam melindungi diri. Yah, asalkan tidak berlebihan saja. Begitu kata Bunda Nina.
Lho, siapa tuh, Bunda Nina? Beliau seorang psikolog, Bun. Ah, senang sekali mendengarkan tuturan beliau yang menenangkan sekali. Yah, secara psikolog andal gitu, ya. Expert banget memberikan penjelasan mengenai pengelolaan emosi pada bunda selama masa pandemi ini.
Mengelola Emosi Positif Bunda dalam Pengasuhan si Kecil di Masa Pandemi
Alhamdulillah beruntung sekali saya dapat mengikuti #webinarsbgm yang diadakan oleh SBGM, Sahabat Bunda Generasi Maju, dengan tema "Mengelola Emosi Positif Bunda dalam Pengasuhan si Kecil di masa pandemi" bersama Bunda Ana Surti Ariani, S.Psi., M.Si. psikolog atau biasa dipanggil Bunda Nina pada peringatan Hari Ibu Nasional 22 Desember 2021. Karena banyak sekali insight yang saya dapatkan dari mengikuti webinar berdurasi 2 jam ini.
Ada saya nyempil tuh di kolom ke-4 baris 2 dari kiri. Senyumku merekah bahagia. |
Dukungan Danone SN Indonesia pada Ibu di Masa Pandemi
Webinar siang itu dibuka oleh Bunda Flora Pramasari, Head of Careline & Communities Danone SN Indonesia. Flora Pramasari mengatakan, “Danone SN Indonesia bersama Sahabat Bunda Generasi Maju sangat memahami bahwa ibu memiliki peran yang sangat penting untuk anak dan keluarga. Kami meyakini bahwa pengasuhan yang sehat agar anak dapat tumbuh menjadi generasi maju harus dimulai dari Ibu yang sehat juga secara mental. Untuk itu, bertepatan dengan momen Hari Ibu, kami mengadakan webinar dengan mengangkat tema tentang ‘Mengelola Emosi Positif Bunda dalam Pengasuhan si Kecil’ untuk menjadi wadah edukasi, konsultasi, dan berbagi antar para Bunda bersamaan dengan para narasumber ahli. Acara ini juga bertujuan untuk memberikan apresiasi bagi para Bunda yang telah gigih mengemban peran ganda dalam mengasuh anak dan mengurus segala pekerjaan rumah tangga selama ini. Tidak hanya itu, kami berharap terbentuk juga kerekatan antara SBGM dan Bunda melalui kegiatan ini dan berbagai layanan Call Center SBGM yang hadir selama 24 jam,” tutup Flora Pramasari.
Jika ada hal yang ingin ditanyakan oleh Bunda di seluruh Indonesia, menurut Bunda Flora, bunda bisa menghubungi layanan Sahabat Bunda Generasi Maju yang siap membantu Bunda selama 24 jam dalam 7 hari melalui WhatsApp di nomor 082-360-360-660.
Selain Bunda Nina dan Bunda Flora, hadir juga Bunda Dilla Dinda Faradhilla, Amd.Gz, perwakilan Sahabat Bunda Generasi Maju (SBGM) Danone SN Indonesia dengan background pendidikan Gizi dan juga moderator sekaligus MC yang asyik, Kak Radin Arsy.
Bunda dan Kondisinya di Masa Pandemi
Menjadi Ibu itu tidak mudah di sepanjang masa. Menjadi ibu itu pembelajaran long life learning. Kebahagiaan ibu menjadi salah satu penyebab suksesnya stimulasi perkembangan motorik dan emosional anak. Namun, tak bisa dinafikan, banyak faktor yang menyebabkan ibu tidak bahagia, seperti faktor ekonomi, finansial, peran ganda di masa pandemi menimbulkan tekanan dan kecemasan pada ibu sehingga ibu tidak berbahagia.
Pada masa pandemi, honestly, saya merasa hidup seperti menaiki roller coaster. Harus keluar dari comport zone saya selama ini. Saya harus melakukan semua peran dalam waktu bersamaan seperti memasak, mencuci, mengasuh anak, mengajar seperti ibu guru di sekolah (mengajar 4 anak dengan berbagai level), belum mengerjakan pekerjaan sebagai blogger, content writer, kuliah pula!
Kadang ada masanya saya juga merasa lelah. Tapi mau bagaimana lagi. Waktu tak pernah mau menunggu kita. Aktivitas harus terus berlangsung lancar sebagaimana biasanya. Makanya akhirnya kita mau tidak mau harus mengikuti gaya hidup baru, new normal. Sesuatu aktivitas di luar kebiasaan kita. Saya harus bisa cepat beradaptasi.
Puncaknya saat mengerjakan tesis. Ya, Allah, beneran deh. Rasanya seperti kepala di bawah, kaki di atas. Jungkir balik, Bun! Stres? Yap! Saya pernah mengalami stress juga. Pernah nangis-nangis? Pernah!. Apalagi ketika sudah menulis berbab-bab. Lalu dengan enteng dosen mengatakan. Ganti! Padahal selama menulis itu, saya meminta waktu pada anak-anak.
Pada masa ini, menurut Bunda Nina, seorang bunda harus bisa mengelola emosi positif bunda. Karena dengan memiliki kemampuan mengelola emosi, bunda bisa menjadi bunda yang lebih baik lagi. Sebaliknya, jika bunda tidak memiliki kemampuan mengelola diri, hal ini dapat merugikan diri Bunda dan anak-anak. Dan jika itu terjadi dan bunda akhirnya memiliki penyakit kesehatan mental, maka bunda harus berkonsultasi kepada expert.
Dampak Covid 19 pada Psikologi Bunda
Dampak Covid itu ada dua, dampak pada fisik dan dampak pada psikis. Dampak fisik banyak dialami oleh orang-orang penyintas Covid-19, ya. Seperti sesak nafas, batuk, pilek, sakit kepala, sampai kondisi darurat. Saturasi nafas menurun. Berakibat fatal jika tidak segera diobati. Makanya selama sakit Covid-19, harus melakukan karantina mandiri atau dirawat di rumah sakit.
Sementara itu, ada dampak psikis atau dampak psikologis. Mungkin sebagian orang tidak merasakannya. Atau malah tidak mengetahuinya memiliki dampak psikis pada masa pandemi ini. Karena rasanya biasa saja.
Menurut Bunda Nina contoh dampak psikologi/dampak psikis adalah mengalami kecemasan ketika keluar rumah, merasa bosan di rumah saja, stres karena mengajar anak di rumah, stres selama menstimulasi si kecil dan beragam efek psikologis lainnya di masa pandemi.
Gangguan Psikologis Selama Masa Pandemi
Ada banyak gangguan psikologis selama pandemi. Seperti yang disebutkan di atas, seperti fobia, stress, panic buying, keranjingan nonton drakor, ketidakstabilan mood, kecanduan main game, dan lain-lain. Namun, gangguan-gangguan tersebut belum tentu kita alami semua, kan?
Jadi, meskipun ada kabar buruk di masa pandemi ini, namun tentu banyak kabar baiknya, juga, ya, Bun. Alhamdulillah kabar baik dari rumah saya, akhirnya saya jadi bisa masak segala macam cemilan sehat untuk anak-anak. Yah, secara dulu, kan, gampang banget saya manggil mamang tukang bakso, mamang siomay, mamang gorengan atau go-food. Sekarang saya bisa buat sendiri cemilan-cemilan itu, seperti bakso, pempek, siomay, mochi, bola-bola kentang keju, pizza dan pancake lain-lain.
Jenis-jenis Emosi
Nah, bunda, ini sesi yang sangat menarik menurut saya. Karena ternyata pengetahuan saya mengenai emosi itu minim, cetek banget. Dan ternyata gak hanya saya saja, yang tahunya emosi itu hanya marah, sedih, menangis, kesal, bahagia. Bunda yang mengikuti webinar kemarin itu ternyata juga punya pemikiran yang sama.
Ternyata kata Bunda Nina, emosi itu banyak, Bun! Wah, beneran ilmu baru, ini, ya!
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Robert Plutchick mengenai emosi, yang sering juga disebut Plutchick's wheel of emotions menyatakan bahwa ada banyak jenis emosi.
Saya takjub dibuatnya. Ternyata Marah juga bervariasi. Dimulai dari annoyance (merasa terganggu), anger (marah) dan rage (kemarahan/marah sekali). Emosi itu juga bukan hanya marah. Ternyata ectassy itu senang yang amat senang, joy itu senang, peacefull itu senang yang damai. Itu adalah emosi yang positif.
Plutchick mengelompokkan emosi dengan berbagai warna. Ada merah, hijau, biru dan sebagainya. Ada warna hijau muda. Admiration itu kagum, trust itu percaya, acceptance itu menerima. Ada warna biru: grief (kedukaan), sadness (sedih), dan lain-lain.
Jika diteliti lagi mungkin akan ada ratusan jenis emosi. Semua jenis emosi ada manfaatnya dan boleh dilakukan. Marah yang murka boleh dilakukan ketika membela sesuatu. Misalnya ketika ada yang mengancam anak kita. Ada semangat membela anak kita. Boleh berduka. Ketika ada yang meninggal. Sesekali emosi ini menjadi penting. Ketika kita mengalami dengan wajar, kita mengalami emosi yang sehat.
Oh, ya, Bun, ada nih yang namanya toxic positivity. Seringkali kita juga suka melakukan ini, lho. Karena enggak tahu, kan, ternyata yang begini ini, toxic juga, meskipun kelihatannya telah mengucapkan sesuatu yang positif.
Contohnya ketika anak sedang marah, terus kita hentikan dengan bilang, eh enggak boleh marah. Atau ketika sedih, kita bilang, enggak boleh sedih. Jangan menangis, cengeng! Dan sebagainya.
Hindari ini, ya.
Bunda, harus bisa menerima emosi yang ada di dalam diri. Begitu juga anak-anak. Kita perlu menyalurkan emosi kita dengan benar, pada saat yang tepat.
Emosi juga tidak hanya marah, kecewa, tapi ada meosi bahagia, bangga, senang, dll. Ketika kita bisa mengungkapkan emosi dengan tepat. Di situlah kita sedang mengelola emosi kita dengan baik.
Ketika anak marah, kita bisa melakukan komunikasi dengannya. Menggali mengapa dia marah. Begitu juga dengan diri kita ketika marah. Tentu kita harus tahu mengapa kita harus marah. Ini yang disebut mengontrol emosi, sehingga emosi yang keluar adalah emosi yang positif, tidak menyakiti diri sendiri juga tidak menyakiti orang lain.
Nah, terkadang melihat orang yang sedang marah, teriak-teriak, kita langsung mencap orang itu stress. Atau ketika itu terjadi kepada kita, terus kita langsung mencap diri sendiri sedang stress.
Apa, sih, Stress itu?
Menurut Bunda Nina, Stress itu bukan emosi, ya, Bun. Stress adalah kondisi saat kita merasa tekanan yang dialami berlebihan. Makanya kebanyakan orang yang sedang emosi itu kelihatan labil dan mengerikan, kan, ya? Karena efek dari tekanan yang berat itu. Emosi yang ditahan akan menjadi bom waktu yang sangat mengerikan yang disebut stress.
Apakah stres berbahaya atau tidak?
Stress itu ada tingkatannya, ada level stress, dari level terendah tertinggi. Jadi, berbahaya atau tidaknya, tergantung dari rendah atau tingginya stress yang sedang dihadapi.
Bagus sih, kita mengalami stress. Karena jika kita tidak mengalami stress, misalnya nol stress, maka sebenarnya performa diri kita itu rendah sekali. Kondisi kita itu gak bener karena gak ada stressnya.
Stress bikin sakit kepala |
Bagaimana jika stress tinggi? Ini yang berbahaya. Hal ini akan terjadi stress overload, ujung-ujungnya kita tidak bisa mengelola emosi dengan baik.
Seringkali kita mendengar tentang parental burnout. Kondisi di mana orang tua merasa stress dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk si kecil. Stress jenis ini akan menjadi penyakit bagi bunda jika tidak segera dikendalikan atau diobati.
Makanya penting memiliki stress di level rendah agar tubuh bisa mengelola emosi di level rendah itu. Tubuh memerlukan stress yang tidak berlebihan agar dapat memahami sinyal tubuh. Ini akan meredam terjadinya stress di level yang berbahaya (tinggi).
Dampak stress pada bunda yang berlebihan adalah kekerasan pada anak, anak diabaikan, anak dimanjakan, pekerjaan jadi gak beres, bunda menjadi lebih mudah sakit, relasi ayah dan bunda bermasalah, pertengkaran di dalam rumah tangga, dan sebagainya. Kelola stress dengan baik bukan tidak boleh stress.
Fenomena Sandwich Generation
Saat ini kita adalah sandwich generation. Bunda dan ayah berada di tengah-tengah dua kepentingan. Kepentingan bertanggungjawab pada pengasuhan anak-anak dengan baik, namun juga kita tidak bisa abai kepada kesejahteraan dan kesehatan kedua orang tua kita (nenek dan kakek anak-anak).
Nah posisi ini yang menjadikan kita generasi sandwich ini. Sumber stress kita itu bisa dari anak atau dari orang tua yang lansia. Jika kita tidak bisa mengelolanya dengan baik akan menjadi stress berkepanjangan.
Tips Mengelola Emosi Positif pada Bunda
Bunda harus menyadari bahwa kondisi tubuh dan psikis itu berhubungan (mind and body connection). Apa sih hubungannya? Bunda Nina mencontohkn hubungan antara kondisi tubuh dengan psikis, jika kita takut gak kepengen ketemu seseorang, kita akan mengalami sakit perut atau sakit kepala. Tanda tanda tersebut bisa dipastikan sesorang mengalami stress berat. Contoh lagi, ketika kita sedang mengalami sakit, tidak bisa berpikir kita bingung, kita tidak bisa merawat anak, akhirnya stress. Oleh karena itu, sehatkan tubuh agar dapat sehatkan psikis.
Sehat itu mahal. Demikian yang sering kita dengar. Bagi yang sudah mengalami dirawat di rumah sakit dengan biaya yang tidak sedikit. Sampai jual perabotan rumah, tanah hingga akhirnya rumah juga dijual. Akhirnya kita bangkrut gara-gara kita tidak bisa menjaga kesehatan diri kita. Makanya penting sekali menjaga kesehatan. Jadikan kebiasaan baru untuk menyehatkan tubuh. Nah, untuk sehat fisik dan psikis, tentu saja kita harus menerapkan kebiasaan baru tersebut seperti:
- Makan makanan yang bernutrisi
- Cukup beristirahat, jangan nonton malam. Tidur 7-8 jam per hari.
- Tetap berolahraga. Kita bisa lho, berolahraga sambil menemani si kecil sambil manjat manjat, sambil lari-lari. Ini juga yang sering saya lakukan bersama Saki.
- Hindari rokok dan alkohol. Alhamdulillah ayahnya Saki tidak pernah mmakai atau mengonsumsi kedua benda ini. Hanya saja kalau keluar rumah, pasti ada saja yang merokok di tempat umum. Ini yang perlu dihindari, ya.
Lalu, Apa yang dapat Dilakukan untuk Mengelola Emosi Positif Bunda?
1. Menenangkan diri
Salah satu yang bisa membuat emosi kita positif lagi adalah membuat sesuatu yang menenangkan diri. Kita bisa mengandalkan sesuatu yang ada di dalam diri kita. Yaitu nafas kita. Ketika tiba-tiba sedih, mau marah, maka lakukan duduk, menenangkan diri. Tarik nafas yang dalam, lepaskan dengan perlahan.
Menenangkan diri dengan membaca buku. |
“Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). "Namun, jika tidak lenyap pula maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud, no. 4782. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini shahih). "Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudu.” (HR. Abu Daud, no. 4784. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan).
Pada sesi ini, kita diajak praktik latihan pernafasan. Wah ini sesi yang menyenangkan sekali! Awalnya, tarikan nafas saya dan kemudian dikeluarkan perlahan-lahan itu sebanyak 30 tarikan dalam 1 menit. Ternyata tarikan nafas lebih banyak dari 20x dalam 1 menit itu kita tidak dapat menenangkan diri. Kita lebih rentan dari panik. Bagusnya tarikan nafas kita selama 1 menit itu pendek-pendek, kurang dari 20 tarikan.
Caranya, tarik nafas perlahan, keluarkan juga perlahan. Ketika oksigen masuk ke dalam tubuh kita, maka kita akan bisa mengelola emosi. Kita akan menjadi tenang. Setelah itu komunikasikan apa yang menjadi kemarahan kita. Tentu saja dengan tenang.
Kalau saya sendiri, kalau lagi marah, kadang saya duduk membaca buku sendirian. Kadang juga saya lebih suka mengunci diri di kamar. Lalu, anak-anak nanti akan menyurati saya, meminta maaf lewat sepucuk surat plus pensilnya. Jadi, kita main surat-suratan. Jika sudah demikian, biasanya saya bisa menyampaikan kekecewaan saya kepada anak-anak tanpa marah-marah. Karena sudah ada perantara surat itu. Kadang bikin ngikik sendirian juga.
2. Grounding tools
Grounding tools (membumi) ini membantu kita mengelola emosi agar menjadi emosi positif. Karena ketika kita marah, terkadang kita tidak bisa melihat obyek di depan kita dengan baik. Apa saja yang bisa kita lakukan dalam gorunding tools ini?
- 5 hal yang sedang kita lihat di depan kita. Benar benar melihat apa yang didepan kita. Karena saat stress kadang tidak realitis melihat di depan kita. Melihat orang kayaknya lagi marah, padahal enggak.
- 4 hal yang dapat disentuh
- 3 hal yang dapat didengar
- 2 hal yang dapat Bunda cium baunya
- 1 hal yang dapat anda rasa
Lakukan semua itu sambil bernafas perlahan-lahan dan membuang nafas perlahan-lahan.
3. I Cannot control and I can control.
Kita bisa menulis apa saja yang bisa kita kendalikan dan tidak bisa kita kendalikan. Yang bisa kita kendalikan adalah mengendalikan marah, sedih, bahagia, duka, sesuatu yang datangnya dari diri kita sendiri. Yang tidak bisa kita kendalikan adalah sesuatu yang berasal dari luar diri kita, seperti omongan tetangga, omongan orang lain kepada kita, komentar netizen, dan lain-lain.
Bunda ini yang Tidak Boleh Bunda Lakukan Ketika Emosi Datang
Ketika emosi datang menyerang, stop dulu segala aktivitas. Bernafaslah dengan tenang, bicarakan sesuatu dan lakukan sesuatu. Jangan Lakukan:
1. Mengekspesikan kekesalan kepada orang lain.
2. Menyakiti diri sendiri, tidak mau makan, menggores pangkal lengan dengan benda tajam, menyakiti diri sendiri. Penting sekali Bunda menguasai diri karena jika anak melihat bunda melakukannya, maka anak akan mengikuti apa yang bunda lakukan.
3. Negative self-talk. Ini jangan pernah dilakukan. Seperti mengatakan: apalah saya cuma ibu rumah tangga, ini negative self-talk kata bunda Nina. Saya mah orang miskin, menyebutkan hal-hal negative pada diri sendiri, mencaci maki diri sendiri, hal ini jahat sekali pada diri kita sendiri. Kata-kata ini akan melukai diri kita sendiri. Kita sedang merendahkan diri sendiri. Jangan mau terseret dengan hal buruk.
Lalu apa yang harus Bunda Lakukan?
Agar Bunda bisa mengelola emosi dengan positif, bunda harus melakukan ini. Hal ini akan membantu bunda untuk mengetahui mengapa bunda menjadi emosi.
1. Kenali batasan tubuh dan psikis. Kita harus mengetahui batas diri kita. Jadi kita bisa mengenali diri sendiri. Kalau enggak sarapan pagi, maka saya tidak bisa berpikir, misalnya.
2. Tetap terhubung dengan orang tercinta. Tetap bersosialisasi. Ini penting agar kita tidak merasa bosan di rumah saja. Yang kita lakukan sekarang di rumah saja itu social distancing, tapi physical distancing. Kita bisa melakukan pertemuan dengan teman-teman dengan menjaga jarak aman, tetap mengobrol, tapi tetap prokes yaa. Kita juga bisa bertemu dengan saudara, ayah ibu, nenek kakek, sahabat dengan melakukan video call, pertemuan di zoom meeting dan sebagainya. Ini juga yang saya lakukan saat berkomunikasi dengan adik dan kakak. Agar tidak "mati obor" atau putusnya tali silaturahim.
3. Ada waktu steril dari gadget, dunia kita luas, jangan terhambat hape. Huah ini yang masih PR banget nih. Susah banget melepaskan diri dari gadget meskipuns sebentar saja. Kudu berusaha, fighting!
Bagaimana jika Masalah Stress tidak Kunjung Tuntas?
Jika masalah stress tidak juga selesai dan tak tuntas diselesaikan sendiri, Bunda Nina menyarankan untuk segera membuat janji dengan psikolog klinis. Psikologis klinis ini sama-sama psikolog tapi fokusnya adalah untuk membantu menyembuhkan kesehatan mental. Cari psikologis klinis https://data.ipkindonesia.or.id/cari-psikolog/
Ya, Allah, ini materi dari Bunda Nina daging semua. Saya suka sekali mendengar penuturan dari Bunda Nina yang lembut tapi tegas ini. Semoga kita menjadi bunda yang terbaik untuk anak-anak dan keluarga kita. Stres itu ternyata ternyata salah satu hal di dalam tubuh kita yang tetap dibutuhkan juga. karena ada hal-hal baik dipicu dari stress. Agar kita bisa mengasuh si kecil dengan lebih baik.
Kesimpulan
- Ingat semua emosi ada manfaatnya dan boleh dialami secara wajar. Jadi boleh marah, boleh sedih asalkan wajar.
- Fenomena sandwich generation ini memang kita alami di keseharian kita. Stress dibutuhkan untuk membuat kita semangat. Tapi jika stress berlebihan/distress, akan merugikan anak, bunda dan seluruh keluarga.
- Kondisi psikis dan tubuh berhubungan. Sehatkan kondisi psikis agar bsia menyehatkan diri
- Kuasai cara tenangkan diri.
Nah, Bunda, masa pandemi bunda memiliki tanggung jawab pada anak, keluarga dan juga orang tua. Agar bisa mengusasai diri, maka bunda harus bisa mengelola diri sendiri. Dari kesimpulan di atas, boleh kok kita beremosi dengan segala emosi itu secara wajar. Lakukan segala jenis kebiasaan baik. Jika stress tidak bisa diatasi sendiri, maka konsultasikan stress yang menghinggapi diri kepada expert. Sehat mental itu.
Terima kasih Sahabat Bunda Generasi Maju, saya sangat senang sekali mengikuti #webinarsbgm dengan tema mengelola emosi positif bunda dalam pengasuhan si kecil di masa pandemi ini. Semoga dengan demikian saya bisa mengelola emosi positif dengan baik dan insyaAllah anak-anak dalam pengasuhan saya akan menjadi anak generasi maju.
Salam bahagia selalu,
Terima kasih sharingnya tentang mengelola emosi, wajar ya kak manusia punya emosi tp bergantung kita mengelolanya ya, butuh waktu mengelola emosi
ReplyDeleteBenar sekali, karena kita makluk sosial, tentu saja perlu banget punya emosi agar bisa berinteraksi dengan manusia lainnya dengan nyaman.
DeleteMasyaAllah tulisannya bermanfaat sekali bun. Sungguh menolongku yang agak kesulitan mengelola emosi ini. Semoga aku bisa menerapkannya. Webinar SGM seru-seru dan bermanfaat banget ya, jadi pengen ikutan juga ^^
ReplyDeleteSama-sama bun. Iya, banyak kok webinar yang diadakan oleh SBGM ini. Ikuti saja instagramnya bun. Atau telpon ke carelinenya.
Deletekaget banget sama keadaan pandemi ini. mulai dari harus adaptasi belajar, yg satu sekolahan bukan cuma murid. trus juga kemudahan akses internet dan sosial media makin2 aja kan. punya anak abege di masa pandemi rasanya lebih dag dig dug, jadi ya stressnya lebih2 deh
ReplyDeleteIya mbak, semoga pandemi lekas usai ya, jadi kita bisa melakukan aktivitas lagi dengan normal dan gak dag dig dug lagi
Deletesebelum melahirkan aku merasa tidak akan berhasil menjadi seorang ibu, karena kualitas sosok seorang ibu tuh kayaknya gak ada di aku, eh setelah melahirkan, justru anakku yang ngajarin aku untuk jadi seorang ibu terbaik untuk dirinya
ReplyDeleteiya mbak, sama banget. Makanya ini penting banget ya kita menjaga bonding dengan anak, karena anaklah yang banyak memberikan perhatian kepada kita ya dan sebaliknya
DeletePastinya bener banget utk mengendalikan amarah apalagi menghadapi anak2 yg mulai berulah dan bikin jengkel yg kelewatan. Tetap hrs tahan amarah jngn sampsi terlontar selatah kata yg bikin permata hati kita "terkejut!" Knp? karena akan membekas dlm benaknya dan stay there for a long time. Rugi kan kuta sebagai ortu kl ini terjadi?
ReplyDeleteiya loh pandemi ini menantang banget buat orang tua.. karena bikin banyak pikiran, beban kerja domestik maupun mungkin pekerjaan kantor bertambah, jadi lebih mudah lelah juga. seringkali bikin keceplosan lebih emosi ke anak.
ReplyDeleteSeanng deh SGM selalu memiliki program2 edukasi kesehatan yang pemaparannya jelas namun ga membosankan. Seperti soal mengelola emosi positif bunda kali ini..ternyata ada cara khususnya ya :) setuju dengan poin kudu steril dari gadget hahaha ini sulit dilakukan kayaknya mbak Sri :D
ReplyDeleteAlhamdulillah aku termasuk tipe seorang ibu yang bukan dengan yang tipe kalau marah suka meluap-luap. Masih bisa ngendaliin emosi dan ketika ada kesalahan bukan langsung menjudge sesuatu namun tanya dulu nih kenapa mereka biss melakukan hal tersebut. Belajar banget soalnya dulu sempet marah karena dia main hujan2. Ternyata dia kehujanan basah kuyup karena lari ke mobil perpustakaan keliling buat baca buku planet. Salahnya pas ujan2 aja. Dari sana saya belajar bgt bahwa marah tanpa mendengar alasan anak adalah hal yg salah
ReplyDeletePandemi memang menguras emosi. Sayangnya seringkali tanpa disadari kalau ibu gak bisa mengontrol emosi memang bisa berimbas ke anak. Apalagi pandemi berlangsung lama. Bisa mendalam bekasnya ke anak
ReplyDeletePR nya sama nih sesekali tanpa gadget hal yg cukup berat nih butuh perjuangan
ReplyDeleteBagus ya acaranya teh menambah insight baru tentang kesehatan mental, nggak usah menahan amarah atau sedih, kita manusia biasa yang bisa merasakan sedih dan marah serta emosi lainnya
ReplyDeleteaku harus banyak belajar lagi mi, apalagi kalau lagi lelah, aku tuh suka mudah marah banget, terutama ke anak2, huhu
ReplyDeletepenting banget ya Bun untuk bisa menguasai diri agar kita juga bisa mengontrol emosi.
ReplyDeleteduh ini masih PR banget sih tapi harus dilakukan agar tidak terus berlanjut ya, kasihan juga anak-anak dan sekitar kita ;(
Ummi Saki, aku juga merasakan stressnya saat kuliah. Beneran banget kepala di kaki, kaki di kepala. Hahaha. Pas mau diminta lanjut lagi kayaknya belum sanggup karena pengen bernapas lega dulu hahaha. Selamat ya selalu Umi Saki selalu penuh karya. bagaimanapun kita sebagai ortu harus pintar kelola emosi
ReplyDeleteStres tentunya akan selalu ada dalam menjalani hari.
ReplyDeleteAku sering juga keceplosan ngomong yang gak baik kalau sedang tertekan secara psikis. Sungguh betapa aku sering meluapkan stres pada orang yang salah, jadi seolah semua yang ada di sekitarku, SALAH.
Kudu banget belajar mengelola stres karena ini bagian dari kecerdasan.
Dan sungguh, sabar itu gak ada batasnya.
Terima kasih banyak untuk insightnya, Mb Tuti. Iya nih, terutama kalau pas lagi lelah gitu, emosi bisa keluar tak terkendali. Ujung-ujungnya anak yang kena imbasnya. Harus lebih berusaha lagi untuk mengelola emosi yang ternyata jenisnya beraneka ragam yaaa...
ReplyDeleteMaterinya bagus sekali mbaaa.... Saya jadi diingatkan untuk tetep menjalin silahturahmi walau secara online dulu ya....
ReplyDeleteBaru tahu ternyata emosi itu beragam. Padat sekali pembahasan materinya, Mbak. Semoga kita terus semangat mendampingi anak2 belajar, ya.
ReplyDeleteStress boleh, tapi di level bawah. Begitu, yaa. Hihihi
Anak cerdas berasal dari ibu yang bahagia saat mengasuh yaa..
ReplyDeleteJadi anak juga bisa menemukan apa yang disukai dan itu tentunya membutuhkan dukungan dari orangtua.
Belajar kembali untuk mengelola emosi agar menjadi energi positif dan tidak destruktif.
Makasih tipsnya!
ReplyDeleteAku belum jadi Ibu, tapi ikut ngasuh keponakan bayi yang lahir pas pandemi gini. PR banyak buat ngenalin ini itu tanpa emosi. Kan mereka belum bisa ngomong gitu. Steril dari gadget ini lagi diusahakan
bicara soal emosi, semasa masa pandemi kemarin saya sempat mengalami masalah dengan emosi karena selalu marah-marah ke anak dan mengalami kecemasan apakah saya sudah menjadi ibu yang baik. akhirnya saya memutuskan membeli beberapa buku yang mungkin bisa membantu saya mengatasi masalah tersebut. alhamdulillah sih buku-buku tersebut cukup membantu walau kadang saya masih keceplosan marah ke anak di situasi tertentu
ReplyDeleteKondisi fisik dan psikis di masa pandemi memang naik turun ya mba. Terkadang kalau udah kelelahan, kita acapkali lepas kendali. Ntar nya nyesel setelah marah-marah ke anak hehehee... Aku juga merasakan hal yang sama nih. Harus lebih kuat lagi mengendalikan emosi.
DeleteIni materinya bagus ya mak. Apalagi waktu diajak menghitung nafas itu. Seru banget. Emak-emak memang rentan stres selama pandemi ini
ReplyDeleteMasya Allah kalau liat penjabaran Ummi Shaqi kayaknya ibu ini bener2 nggak salah dapat imbalan surga yaa kalau sabar dan mampu mengelola emosinya. Edukasi dari SGM ini memang bagus banget buat para ibu ya
ReplyDeletegak bisa dihindari, memang benar sih banyak org stress saat-saat pandemi, termasuk para bunda di rumah. Karena Bunda-bunda dengan multitask, punya byk tugas 24/7 yg kdg bkin senewen. Thanks atas tipsnya mbak
ReplyDeleteWah, materinya bergizi banget ini!
ReplyDeleteAku jadi tercerahkan mengenai emosi.
Setuju banget terutama di bagian ini:
"... menjadi ibu itu long life learning!"
Aku sudah membuktikan sendiri, semakin sering terlibat dengan proses pembelajaran seumur hidup, semakin aku menyadari bahwa ada banyak hal yang belum aku ketahui dan ini membuat aku semakin kepo. Hihihi.
Well, itu pertanda baik dong ya!
memang benar ya mbak, saat pandemi seperti ini, Bunda harus lebih bisa mengelola emosi ya
ReplyDeletestres wajar tapi harus dikelola dgn baik
Wah aku baru ngeh template blog mbak Sri baruu #dibahas hehehe
ReplyDeleteMbak materi ini manteb banget, terima kasih sudah menuliskannya dengan lengkap. Aku akan baca pas esmosi jelek krn capek menghampiriku nanti hehe
Sedih emang kalau pas capek trus esmosi meledak depan anak, moga gk pernah kejadian lg huhu TFS
Masa pandemi emang rentan banget bikin stress ya..Harus pinter-pinter mengelola emosinya... Trims banget nih tips-tipsnya...
ReplyDeleteKerasa banget ya mbak efek pandemi ke psikologis kita, khususnya ibu. Ternyata banyak sekali ya macam macam emosi. Kalo dah emosi memang lebih baik diem, menjauh nenangin diri sebentar, baru deh balik lagi..
ReplyDeleteMakasih mbak sharingnya
Aku baru tahu. Ternyata tidak mengalami stress ini kondisi yang berbahaya ya. Aku baru tahu nih. Aku juga baru tahu ternyata marah, senang dan sedih ada tingkatannya. Had lebih paham dengan emosi sendiri sekarang. Jadi bekal juga nih buat membangun emosi positif. Terima kasih tulisannya berguna banget nih buat aku.
ReplyDeleteMasya Allaaah aku bacanya pengen peluuuk
ReplyDeletesabar ya jeng Arin, actually jadi ibu memang mengejar JannahNYA semata,
kadang cape lelah pslkis itu yang bikin fisik jebol
sekali lagi semangat yaaaa
terus belajar ya mba sebagai ibu, terlebih dalam mengelola emosi, seneng baca artikelnya banyak insight baru yang bisa diperoleh.. terus semangat ya mba.
ReplyDeleteemang deh, masa masa pandemi ini bikin buibu rentan stress ya maaaak.. huhuhuhu. Setuju nih sama postingan ini, emang penting banget untuk mengelola emosi positif kita yaaaa
ReplyDeleteah iya, pandemi kemaren memnag rada menguras energiku untuk emosi luumayan ngarah baby blus ppd tapi sudah terlewati semua.
ReplyDeletesemoga ini jadi pengingatku juga untuk lebih santai